SEJARAH AWAL SEKOLAH MUHAMMADIYAH
SEJARAH AWAL SEKOLAH MUHAMMADIYAH
Bulan Dzulhijjah (8 Dzulhijjah 1330 H) atau November (18 November 1912
M) merupakan momentum penting lahirnya Muhammadiyah. Itulah kelahiran
sebuah gerakan Islam modernis terbesar di Indonesia, yang melakukan
perintisan atau kepeloporan pemurnian sekaligus pembaruan Islam di
negeri berpenduduk terbesar muslim di dunia. Sebuah gerakan yang
didirikan oleh seorang kyai alim, cerdas, dan berjiwa pembaru, yakni
Kyai Haji Ahmad Dahlan atau Muhammad Darwis dari kota santri Kauman
Yogyakarta.
Embrio kelahiran Muhammadiyah sebagai sebuah organisasi untuk mengaktualisasikan gagasan-gagasannya merupakan hasil interaksi Kyai Dahlan dengan kawan-kawan dari Boedi Oetomo yang tertarik dengan masalah agama yang diajarkan Kyai Dahlan, yakni R. Budihardjo dan R. Sosrosugondo. Gagasan itu juga merupakan saran dari salah seorang siswa Kyai Dahlan di Kweekscholl Jetis di mana Kyai mengajar agama pada sekolah tersebut secara ekstrakulikuler, yang sering datang ke rumah Kyai dan menyarankan agar kegiatan pendidikan yang dirintis Kyai Dahlan tidak diurus oleh Kyai sendiri tetapi oleh suatu organisasi agar terdapat kesinambungan setelah Kyai wafat. Dalam catatan Adaby Darban, ahli sejarah dari UGM kelahiran Kauman, nama ”Muhammadiyah” pada mulanya diusulkan oleh kerabat dan sekaligus sahabat Kyai Ahmad Dahlan yang bernama Muhammad Sangidu, seorang Ketib Anom Kraton Yogyakarta dan tokoh pembaruan yang kemudian menjadi penghulu Kraton Yogyakarta, yang kemudian diputuskan Kyai Dahlan setelah melalui shalat istikharah (Darban, 2000: 34). Artinya, pilihan untuk mendirikan Muhammadiyah memiliki dimensi spiritualitas yang tinggi sebagaimana tradisi kyai atau dunia pesantren.
Sesungguhnya ada banyak faktor yang mendorong KH. Ahmad Dahlan dalam mendirikan pendidikan Muhammadiyah, yakni sebagai salah satu bentuk perlawanan terselubung terhadap kolonialisme Belanda,
Gagasan untuk mendirikan organisasi Muhammadiyah tersebut selain untuk
mengaktualisasikan pikiran-pikiran pembaruan Kyai Dahlan, menurut Adaby
Darban (2000: 13) secara praktis-organisatoris untuk mewadahi dan
memayungi sekolah Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah, yang
didirikannya pada 1 Desember 1911. Sekolah tersebut merupakan rintisan
lanjutan dari ”sekolah” (kegiatan Kyai Dahlan dalam menjelaskan ajaran
Islam) yang dikembangkan Kyai Dahlan secara informal dalam memberikan
pelajaran yang mengandung ilmu agama Islam dan pengetahuan umum di
beranda rumahnya. Dalam tulisan Djarnawi Hadikusuma yang didirikan pada
tahun 1911 di kampung Kauman Yogyakarta tersebut, merupakan ”Sekolah
Muhammadiyah”, yakni sebuah sekolah agama, yang tidak diselenggarakan di
surau seperti pada umumnya kegiatan umat Islam waktu itu, tetapi
bertempat di dalam sebuah gedung milik ayah Kyai Dahlan, dengan
menggunakan meja dan papan tulis, yang mengajarkan agama dengan dengan
cara baru, juga diajarkan ilmu-ilmu umum.
SEJARAH SINGKAT SEKOLAH MU'ALLIMIN
Muallimin merupakan nama pendek dari
Madrasah Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta. Sekolah ini juga sering
disebut secara pendek m3in (baca: Emgain) oleh para alumninya. Ia
terletak di jantung kota Yogyakarta dan termasuk sebagai salah satu
sekolah yang memiliki sejarah yg cukup panjang khususnya berkaitan
dengan pendirian dan perkembangan organisasi Muhammadiyah di Indonesia.
Muallimin bukanlah sekolah Muhammadiyah
biasa. Ia mem iliki predikat sebagai Sekolah Kader Muhammadiyah, di mana
banyak alumninya mengabdikan dirinya dalam perjuangan organisasi ini,
baik dari tingkat Ranting hingga tingkat Pimpinan Pusat.
Sejarah Berdirinya Muallimin
Madrasah
Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta didirikan oleh KH Ahmad Dahlan pada
tahun 1918 dengan nama “Qismul Arqa” di Kampung Kauman Yogyakarta
(Alfian, 1989). Sepanjang sejarahnya, Madrasah al-Qismu al-Arqo
mengalami beberapa kali perubahan nama. Secara kronologis, perubahan
nama ini dimulai dari Madrasah al-Qismu al-Arqo kemudian Hogere
Muhammadijah School, kemudian Kweekschool Islam dan menjadi Kweekschool
Muhammadijah. Nama Kweekschool muncul dalam pikiran KH Ahmad Dahlan
setelah kunjungannya dari Kweekschool Katholik di Muntilan (Sejarah
Muhammadiyah, tt). Pada mulanya sekolah ini bertempat di Kauman.
Kemudian pindah ke Ketanggungan Wirobrajan (sekarang Jl. Letjend. S.
Parman 68). Pada tahun 1952, Comite Ara-ara melaporkan telah berhasil
mendirikan bangunan permanen sekolah meliputi ruang kelas, masjid, rumah
direktur dan sebagainya (Soeara Muhammadijah, 1952). Perubahan nama
menjadi Madrasah Mu’allimin Muhammadijah terjadi pada tahun 1941
berdasar hasil kongres Muhammadyah ke-23 19-25 Juli 1934 di Yogyakarta
(Soeara Muhammadijah, 1941). Nama Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah
Yogyakarta dipergunakan hingga sekarang. Perubahan nama ini bermula dari
kritik para warga Muhammadiyah, mengapa harus memakai nama sekolah
Belanda; Kweekschool, padahal ijazahnya dan kurikulumnya jelas berbeda.
Pada mulanya, sekolah ini didirikan
dengan tujuan untuk mencetak muballigh, guru dan pemimpin Muhammadiyah.
Awalnya sekolah ini lebih mirip sebagai pesantren dengan mengadopsi
sistem dan metode pendidikan modern. Namun setelah berubah menjadi
Hogere Muhammadijah School, kurikulumnya ditambah dengan pelajaran ilmu
sekuler/umum. Materi kurikulum sekolah yang meliputi ilmu agama dan ilmu
sekuler/umum menjadi satu wujud cita-cita dan eksperimen KH Ahmad
Dahlan untuk mendamaikan dua kutub ilmu tersebut dalam sistem pendidikan
Muhammadiyah. Versi lain menyebutkan bahwa latar belakang pendirian
al-Qismu al-Arqo sangat sederhana. Sekolah ini didirikan menjawab
tuntutan para alumnus Sekolah Rakyat (sekolah ongko loro) Muhammadiyah
yang tidak bisa melanjutkan ke sekolah guru milik gubernemen. Informasi
ini diperkuat oleh artikel dalam Soeara Muhammadijah terbitan Januari
1922 yang menyebutkan al-Qismu al-Arqo sebagai sekolah kelanjutan
sekolah kelas dua (ongko loro). Muhammadiyah beberapa kali mengajukan
permohonan persamaan ijazah dengan rekomendasi Boedi Oetomo, namun tidak
juga diterima. Akhirnya KH. Ahmad Dahlan pada tahun 1918 mendirikan
Madrasah al-Qismu al-Arqo sehingga para alumnus sekolah rakyatnya bisa
melanjutkan sekolah. Di samping itu, mereka juga dapat membantu mengajar
di sekolah-sekolah Muhammadiyah yang lain.
Menjadi Sekolah Kader Muhammadiyah
Tamatan-tamatan Kweekschool Islam/Muhammadijah ini kemudian
menyebar, mengajar di sekolah-sekolah Muhammadiyah terutama di Jawa.
Tidak ada dokumen yang menyebutkan spesialisasi ilmu yang mereka
ajarkan. Keterbatasan sumber daya manusia mengakibatkan tidak adanya
spesialisasi keilmuan para guru di lembaga-lembaga pendidikan Islam masa
itu (Boland, 1982). Tamatan-tamatan Kweekschool Muhammadijah ini
mengajar semua mata pelajaran yang ada, baik ilmu agama seperti Tafsir,
Hadits, Fiqih maupun ilmu umum/sekuler seperti ilmu bumi, ilmu hayat,
falak/hisab dan lain sebagainya. Namun warna pesantren masih terlihat
lebih kental dengan porsi pendidikan keagamaan yang lebih banyak.
Peran para alumnus ini ternyata tidak
hanya mengajar di sekolah-sekolah Muhammadiyah yang baru berdiri. Mereka
ternyata juga aktif dalam dakwah Islam dan pengembangan masyarakat
khususnya dalam cabang-cabang Muhammadiyah. Kiprah mereka dalam
perkembangan awal Muhammadiyah menempatkan Muallimin menjadi pusat
pendidikan generasi mudanya.
Dapat disimpulkan, bahwa sebenarnya
predikat Sekolah Kader Muhammadiyah pada diri Mu’allimin tidak
bersangkut paut dengan cikal bakal pendiriannya. al-Qismu al-Arqo
didirikan sebagai sekolah calon guru dan muballigh Muhammadiyah (Sejarah
Muhammadiyah, tt). Konsep Kader Muhammadiyah tidak tampak dalam
al-Qismu al-Arqo. Orientasi al-Qismu al-Arqo jelas untuk memenuhi
tuntutan kebutuhan guru dan muballigh Muhammadiyah dari cabang-cabang
Muhammadiyah di Hindia-Belanda. Predikat Sekolah Kader Muhammadiyah ini
kemungkinan baru muncul setelah para alumnusnya mampu mewarnai corak
pergerakan Muhammadiyah baik di Yogyakarta maupun di cabang-cabang
Muhammadiyah di luar Yogyakarta. Pengakuan ini ditandai dengan salah
satu keputusan Kongres Muhammadiyah ke-28 di Medan yang mengamanatkan
kepada Hoofdbestur Muhammadijah untuk mengelola secara resmi madrasah
ini (Sejarah Muhammadiyah, tt). Amanat kongres ini menempatkan
Mu’allimin dalam posisi penting dan strategis dalam sistem pengkaderan
Muhammadiyah. Madrasah Muallimin Muhammadiyah kemudian berkembang dan
berdiri di daerah-daerah, seperti: Solo, Ponorogo, Pekalongan, Bogor,
Bandung, Watukebo (Jember) dan sebagainya.
SEJARAH AWAL SEKOLAH MU'ALLIMAAT
Sejarah
berdirinya Madrasah Mu’allimaat Muhammadiyah Yogyakarta tidak bisa
dilepaskan dari tujuan didirikannya Muhammadiyah. Muhammadiyah bertujuan
untuk menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud
masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Untuk mencapai tujuan tersebut,
Muhammadiyah memerlukan kader-kader ulama yang memiliki kualifikasi
menyeluruh (multi side competency), yakni sebagai faqih,
muballigh, mujahid, dan mujtahid yang memiliki komitmen tinggi,
berwawasan luas, dan profesional dalam mengemban misi Muhammadiyah.
Kader ulama Muhammadiyah tersebut memiliki peran ke dalam sebagai
penggerak yang menjalankan fungsi pelopor, pelangsung, dan penyempurna
perjuangan dan amal usaha Muhammadiyah sedangkan ke luar mampu menjadi
kader umat, bangsa, dan dunia yang membawa misi rahmatan lil ‘alamin.
Inilah
sebabnya, pada tahun 1918, K.H.A. Dahlan mendirikan Al-Qismul Arqa yang
kemudian diubah menjadi Pondok Muhammadiyah (tahun 1921), lalu menjadi Kweekschool Moehammadiyah (1923). Kemudian tahun 1924 siswa Kweekschool Islam dipisah antara pria dan wanita. Kweekschool Muhammadiyah untuk putra dan Kweekschool Istri untuk putri. Baru pada tahun 1932 Kweekschool Muhammadiyah diubah menjadi Madrasah Mu‘allimin, Kweekschool Istri
diubah menjadi Mu‘allimaat. Setahun kemudian kedua madrasah tersebut
dipisah. Madrasah Mu‘allimin berlokasi di Ketanggungan Yogyakarta dan
Madrasah Mu‘allimaat bertempat di Kampung Notoprajan Yogyakarta.
Pada
Konggres Muhammadiyah Ke-23 tahun 1934 di Yogyakarta, ditegaskan bahwa
Madrasah Mu‘allimin-Mu‘allimaat Muhammadiyah Yogyakarta merupakan
Sekolah Kader Persyarikatan Tingkat Menengah yang diadakan oleh Pimpinan
Pusat Muhammadiyah; yang memiliki tujuan sebagai berikut : (1) mencapai
tujuan Muhammadiyah, (2) membentuk calon kader Muhammadiyah, (3)
menyiapkan calon pendidik, ulama dan zuama’ yang berkemampuan
mengembangkan ilmu pengetahuan (Ensiklopedi Muhammadiyah, 2005: 244).
Pada Konggres Muhammadiyah di Medan tahun 1938 dua Madrasah tersebut
memperoleh pengukuhan secara legal. Pada saat itu Konggres
mengamanatkan kepada Pimpinan Pusat Muhammadiyah sebagai pengelola dan
penanggung jawab keberadaan dua madrasah di Yogyakarta ini. Pada tahun
1994 dua Madrasah ini kembali memperoleh penegasan ulang melalui surat
keputusan PP Muhammadiyah No.63/SK-PP/VI-C/4.a/1994, tentang Qa’idah
Madrasah Mu‘allimin-Mu‘allimaat Muhammadiyah Yogyakarta.
Seiring
dengan perkembangan Muhammadiyah dan masyarakat secara geografis (lokal
dan global) dan tantangan era globalisasi, Madrasah
Mu‘allimin-Mu‘allimaat Muhammadiyah Yogyakarta sebagai “Madrasah amanat
Muktamar” dituntut menyikapi perubahan tersebut secara profesional, arif
dan bijaksana tanpa meninggalkan identitasnya sebagai sekolah kader
Persyarikatan di masa depan. Supaya sistem pendidikan berlangsung
efektif selama 6 tahun maka seluruh proses pembinaan dan pendidikan di
Madrasah ini berjalan selama 24 jam dengan sistem Boarding School (sekolah berasrama).
Selama 6 tahun sekolah madrasah bisa membuat para santri nya menjadi orang yang patuh dalam jalan allah lebih rajin dalam menjalankan ibadah nya karena selama di. Madrasah para santri selalu di berikan dakwah untuk selalu bersyukur, beriktiar dalam menjalankan perintah agama
BalasHapus